Kembali
Suasana kamar
sepi. Penghuni nya sudah berangkat beraktivitas. Ada yang sekolah, ada
yang bekerja. Tinggal seorang temanku. Ia sedang berada di bawah. Mungkin masih
mandi. Aku sendiri. Mataku menjadi lebih awas. Memandang kesana-kemari. Telingaku
pun lebih peka andaikata ada suara jejak-jejak kaki yang mendekati. Sedang
tanganku, tanganku sepertinya sudah tidak sabar untuk bergerak. Dan, lagi-lagi
aku tak sanggup melawan keinginanku ! ayo, cepat, tunggu apa lagi ? toh tidak
akan ada yang tahu.. Hatiku bergetar. Ini kesempatan. Jangan kau sia-siakan.
Waktu tak akan berulang kembali. Demikian bisikan dari belakang telingaku. Ayo,
tak perlu banyak berpikir. Semua harus dilakukan dengan cepat. Dan juga cermat.
Agar jejak tidak terlacak. Suara-suara yang tak nampak. Menumpang pada pesan
moral kebaikan, semakin kuat terdengar. Aku tak kuasa lagi. Dan, tak ada lima
menit, akhirnya uang 50 ribuan milik temanku yang masih mandi tlah berpindah ke
sakuku. Berhasil ! bagus, kau memang berbakat untuk menjadi pencuri kelas kakap.
Bersaing dengan para pejabat yang tak malu mengambil uang rakyat. He-he, aku
ketawa sendiri mendengar suara tanpa bunyi. Aku segera bergegas pergi. Lumayan.
Lima puluh ribu. Pulsa handphone ku akan bebas hambatan selama sebulan.
Entah ini pesantren keberapa..aku lupa. Yang
jelas, karena kelakuan inilah aku berpindah-pindah pesantren. Seakan tidak
kapok. Keluargaku juga tidak bosan berhenti mengantarkanku ke pesantren.
Seperti 5 hari yang lalu. Dengan kakak laki-lakiku, aku menghadap seorang kyai.
Kakakku berharap aku bisa sembuh. Penyakitku tlah stadium tiga. Keluargaku
sampai geleng-geleng kepala. Tak habis pikir karena kami adalah keluarga
berada. Di depan kyai, kakak pun
mengutarakan maksudnya. Aku hanya tertunduk. Diam. Ada secuil kalimat yang timbul dihati. Aku
pasti hanya sebentar di pesantren ini. “Siapa namamu Cung ? pertanyaan pak kyai
membuyarkan lamunanku. “Muhsinin”. Aku menjawab lirih. “Nama yang sangat bagus”,
sahut beliau. Pak kyai lalu mengangkat tangannya, berdoa. Kami berdua pun turut
mengamininya.
Hatiku sungguh gelisah. Tak seperti
waktu-waktu yang lalu. Saat aku berhasil dengan aksiku. Handphone aku matikan.
Tapi sebentar kemudian ku nyalakan. “Dik, tak tunggu di masjid al-awwabin”. Ku
baca pesan singkat itu dengan terbata-bata. Kakak mencariku. Pasti dapat
laporan atas aksiku. Ah..kenapa begitu sulit menghindar dari desakan keinginan
itu ?.
Dua orang pengurus pondok telah berdiri di samping kakakku. Sepertinya mereka habis berbincang
serius. “Dik, kamu ini memang bandel. Malu-maluin keluarga. Apa memang sudah
tidak bisa berubah ? apakah tidak bisa menyenangkan hati bapak dan ibu ? apakah
mencuri itu membahagiakanmu?” Suara kakak seperti memekakkan telingaku. Wajahku
merah padam. Entah malu, entah marah. Aku tak tahu. “Ingat, namamu adalah
muhsinin, orang yang baik, terpuji”. Kata kakak. “Ayo kembali ke pondok, minta
maaf ke pak kyai”, lalu kakak menarik tanganku dengan hentakan yang keras.
Inilah saatku dikeluarkan lagi dari pesantren.
Inilah akibat dari perbuatanku. Kamu memang calon bajingan. Kamu tidak pantas
tinggal di pesantren. Kalimat-kalimat itu seakan berjalan dihadapanku. Seperti
iklan baris di TV. Semua orang yang aku lewati seolah-olah mencibirku. Sambil
berucap, “ hai, pingin tahu preman pondok ? inilah orangnya”.
“Aku sudah tahu sifatmu yang suka mencuri dari
kakakmu. Keluargamu ingin sekali kamu berubah. Penyakit serakah dan tamak mu
harus disembuhkan. Maka aku pun menerimamu. Apalagi jaminan dari keluargamu
untuk mengganti setiap kerugian yang terjadi. Akibat aksi pencurianmu. Andaikata dilain waktu di pesantren ini ada
yang kehilangan maka engkaulah tersangka utamanya. Dan kau harus berkata jujur,
apa adanya. Tapi aku berharap, ini adalah aksimu yang terakhir. Bagaimana sanggup
?”, Pak kyai bertutur halus kepadaku.
Alhamdulillah..aku berucap. Lirih. Rasanya
hatiku seperti disiram air yang sejuk. Aneh. Seakan tak percaya. Ternyata masih
ada pesantren yang mau memberi kesempatan kedua bagiku. Walaupun tentu beresiko
bagi nama baik pondok. Tapi itulah seharusnya. Karena Pesantren laksana bengkel manusia. Dan aku bertekad tuk
kembali, kembali ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah Allah anugerahkan
nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka
yang sesat. Amin.
Silahkan berkomentar
Post a Comment