Aku Titipkan Anakku Padamu, Ibu !
Untuk Seseorang :
semoga kau bahagia bersama-Nya.
Entah bagaimana ini
harus diceritakan. Kisah hidup seringkali rumit. Bak labirin yang
berkelok-kelok tak tampak akhirnya. Suka atau tidak suka, mau tidak mau
harus selesai. Dan pada akhirnya mungkin menjadi sebuah episode
kehidupan yang meluluhlantakkan jiwa. Tapi tidak bagi pencari cahaya.
Gerimis masih
mengucuri tanah. Udara yang dingin membuatku menarik selimut. Badanku sedikit
menggigil. Sementara suara kaki di jalan depan rumah jelas
terdengar. Sepertinya semua orang melangkah dengan terburu-buru.
Meninggalkan malam dengan rintik hujannya yang masih setia. Dan
seolah memberikan aku kebebasan untuk menikmati kesendirian. Bersama sepi dan
kelam. Padahal di sana tersembunyi keindahan nan menawan. Lebih
tepatnya di sepertiga malam.
Brak. Suara
pintu dibuka dengan kasar. Selimut yang kupakai sontak terlempar. Jantungku
berdetak kencang. Untung kematian masih segan menemuiku. Entah sampai kapan.
Karena kematian hanyalah masalah antrian.
“Suriyah, dimana
kamu?”
“Suriyah !”.
“Ya Mas, sebentar”.
Mukena segera
kulipat. Rambut dan baju ku rapikan dengan cepat. Dan aku bergegas keluar.
Dengan sedikit sisa hawa dingin di badanku. Menuju sumber suara. Menyambut sang
suami. Seperti biasa. Seperti pada malam-malam sebelumnya.
Ku lihat suamiku
berjalan sempoyongan. Dari jauh sudah bisa tercium bau mulutnya.
Aroma minuman keras. Aku jengah. Perutku serasa mual. Hampir lelah aku
mengingatkannya agar tidak mabuk-mabukan dan berjudi. Mungkin sudah lelah
juga dia memakiku, memukuliku. Baru malam ini kami bersama dalam diam. Dan aku
tetap mencintainya.
“Nduk, kenapa
kamu masih saja mempertahankan pernikahanmu dengan Sugawon?”. “ Dia sudah
keterlaluan”, Ibu berkata kepadaku dengan nada tinggi. Pertanda beliau sedang
dalam kondisi marah. “ Tadi dalam perjalanan, Ibu ketemu dengan Bu Karjo di
warung, katanya kalian belum membayar sewa kontrakan rumah selama 5 bulan”. “
Kenapa kamu tidak bilang Ibu, Nduk?”. “ Rasa-rasanya Ibu semakin malu saja
dengan kelakuan suamimu”.“ Sudah, begini saja, nanti siang setelah kamu
menjemput Sugawe anakmu dari sekolah, kalian harus langsung ke rumah Ibu!”,
Ibuku berbicara tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk menjawabnya. Dengan
wajah memerah beliau segera beranjak dari tempat duduknya. Pergi.
Aku
menangis tersedu-sedu. Lamunanku melayang. Melewati lorong waktu. Delapan tahun
yang lalu. Aku memilih Mas Sugawon menjadi suamiku. Tentu saja Ibu melarangnya.
Karena orang sekampungpun sudah tahu bagaimana tabiat lelaki yang dicintai anak
perempuan satu-satunya. Sedangkan aku, tetap bersikeras ingin menikah
dengannya. Sebab dia telah berjanji akan menjadi suami yang baik bagiku. Dan
aku sangat percaya itu. Walau sampai sekarang aku masih
menunggu. Sebuah penantian terhadap janji yang belum terlunaskan.
Tiba-tiba
kepalaku pening. Dadaku juga terasa sangat sesak. Aku segera mengambil obat di
atas meja makan. Lalu meminumnya. Sambil menahan sakit aku berjalan ke kamar.
”Ibu, tolong kembali ke sini”, pintaku pada ibu lewat telepon genggam.
“Sariyah,
kuatkan dirimu Nduk, sebentar lagi kita sudah sampai di rumah
sakit”, Ibu menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Aku berkata lirih kepada
beliau, “Maafkan anakmu ini, Ibu”. Dan mendadak terdengar suara tangis di
sekelilingku. Aku tidak bisa bertanya kenapa. Aku telah diam. Diam selamanya.
Tuban, 17 Desember 2015
By. Atin5757
Silahkan berkomentar
Post a Comment